Kalau kamu pernah merasa gugup bicara di depan umum, kamu nggak sendirian. Banyak orang—termasuk mereka yang sekarang jago banget ngomong—pernah ada di titik itu. Tapi kali ini, aku pengen cerita tentang satu pengalaman yang menurutku beda banget. Kisah tentang Damar, seorang remaja biasa dari Jogja, yang menemukan cara unik dan nggak biasa buat belajar public speaking: meniru gaya kakeknya bercerita saat main game. Iya, sesederhana itu awalnya. Tapi dari situlah, semuanya berubah.
Awalnya Hanya Obrolan Ringan Saat Main Game
Damar bukan tipe anak yang cerewet. Di sekolah, dia lebih sering jadi pendengar. Tapi di rumah, terutama kalau sudah duduk bareng kakeknya, suasana bisa jadi lain. Sang kakek punya satu kebiasaan: setiap kali mereka main game bersama, terutama game yang punya unsur teka-teki seperti Wizdom Wonders, kakeknya akan menjelaskan jalan ceritanya seolah dia adalah narator sebuah dongeng petualangan besar.
“Nah, lihat tuh si penyihir tua,” kata kakeknya sambil menunjuk layar tablet. “Dia nggak cuma ngaduk ramuan, tapi sedang mencari mantra yang bisa nyelametin dunia dari kegelapan!” Dan Damar, yang tadinya hanya duduk untuk main game, malah terbawa dalam cara kakeknya bercerita. Seru, lucu, penuh ekspresi, dan yang paling penting: mengalir begitu saja.
Dari Pendengar Menjadi Peniru yang Diam-diam Latihan
Lama-lama, Damar mulai ikut-ikutan. Bukan di depan umum, tapi saat sendirian di kamar, dia sering menirukan gaya kakeknya bercerita. Dengan suara pelan, kadang pakai ekspresi lebay, dia mencoba membawakan kisah dari game itu dengan caranya sendiri. “Di balik buku sihir ini… ada rahasia besar yang bisa mengubah takdir!” katanya ke diri sendiri sambil menatap bayangan di cermin.
Dari situlah semuanya mulai berubah. Tanpa sadar, Damar sedang melatih dua hal penting: kemampuan membentuk narasi dan kepercayaan diri untuk menyampaikan cerita. Hal yang nggak dia dapat dari pelajaran sekolah, tapi justru dari ruang kecil di rumah dan momen sederhana bareng kakek.
Uji Nyali di Kelas: Cerita Game Jadi Bahan Presentasi
Suatu hari, guru Bahasa Indonesia di sekolahnya ngasih tugas presentasi. Topiknya bebas. Kebanyakan temannya milih bahas hal-hal umum kayak teknologi, musik, atau film. Tapi Damar, dengan sedikit deg-degan tapi juga penasaran, memilih untuk bercerita tentang game Wizdom Wonders. Bukan sekadar review game, tapi ia membawakan kisah penyihir tua itu dengan gaya bercerita ala kakeknya.
Di luar dugaan, teman-temannya pada terdiam. Bukan karena bosan, tapi karena tertarik. Beberapa malah sempat ngakak waktu Damar menirukan suara karakter atau memainkan gaya tubuh yang dramatis. Setelah presentasi selesai, ada yang bilang, “Gue kira lo pendiam, ternyata bisa cerita segokil itu ya.” Damar cuma nyengir. Tapi dalam hati, dia merasa… ini seru juga.
Kebiasaan Kecil yang Jadi Rutinitas Penguat
Sejak itu, Damar mulai rutin berlatih. Tapi bukan dengan cara formal seperti ikut kursus atau baca teori retorika. Dia justru melanjutkan kebiasaan yang sama: main game bareng kakek dan terus bercerita dengan versi narasinya sendiri. Kadang dia ngerekam suara sendiri, lalu didengar ulang. Bukan buat cari kesalahan, tapi sekadar ngerasain bagaimana dia terdengar di luar kepalanya sendiri.
Dia juga mulai mencoba bercerita di grup kecil—kayak saat nongkrong bareng teman atau bantu adiknya bikin video tugas sekolah. Pelan-pelan, skill-nya tumbuh. Tapi bukan sekadar public speaking, lebih dari itu, dia belajar bagaimana membuat orang tertarik mendengarkan, hanya dengan kata-kata dan imajinasi.
Menemukan Suara Sendiri Lewat Cerita yang Dihidupkan
Damar nggak berubah jadi orator hebat dalam semalam. Tapi sekarang, dia jadi salah satu siswa yang sering diminta maju mewakili kelas. Uniknya, dia tetap pakai gaya naratif khas yang dia pelajari dari kakeknya: selalu ada unsur cerita, tokoh, dan suasana yang dibangun. Bahkan saat bicara soal data atau laporan, dia selalu mengemasnya jadi semacam alur petualangan.
“Aku cuma nyontek cara kakek bercerita,” katanya suatu kali saat ditanya rahasianya. Tapi dari “nyontek” itu, dia justru menemukan gaya bicaranya sendiri. Natural, hangat, dan mengundang orang untuk ikut membayangkan.
Refleksi: Kadang, Cara Belajar Terbaik Itu yang Paling Sederhana
Kisah Damar ini mungkin nggak luar biasa dalam skala besar. Tapi justru karena kesederhanaannya, banyak dari kita bisa relate. Kita sering mikir public speaking itu soal teknik tinggi, padahal kadang cukup dengan berani cerita dan belajar dari hal-hal kecil di sekitar kita. Dari game. Dari kakek. Dari kebiasaan ngobrol yang tadinya cuma dianggap iseng.
Pelajaran paling penting? Konsistensi kecil yang dilakukan dengan senang hati bisa jadi pintu untuk kemampuan besar. Dan bahwa tiap orang punya jalan uniknya sendiri untuk berkembang. Kalau kamu belum nemu caramu, mungkin belum waktunya menyerah. Bisa jadi, jawabannya ada di hal yang selama ini kamu anggap sepele.